Surat Anak untuk Ayahnya
Artikel berikut adalah tilisan Guru SD Negeri 13 Kolo Kota Bima, Haninaturrahmah, S.Pd.
Bismillahirrohmanirrohim
Yaa Abaty...
Siapa sangka usiaku kini tak bisa dibilang remaja lagi.
Siapa sangka kalau pilihan-pilihan yang kuambil mengantarku menjadi seperti sekarang ini.
Yaa Abaty...
Aku tak sepenuhnya mengerti apa yang dipikirkan oleh seorang Ayah saat akan menikahkan putrinya.
Ayah dengan segala kekhawatirannya, kalau-kalau anaknya menjadi jauh tidak bahagia setelah menikah.
Aku juga tak tahu kau tipe Ayah yang seperti apa dan akan mengikhlaskan anakmu pada laki-laki yang seperti apa.
Yang aku khawatirkan adalah kalau kau mengikhlaskan aku pada laki-laki yang punya jaminan dunia tapi tak punya jaminan akhirat.
Yaa Abaty...
Mungkin dimatamu aku masih putrimu yang keras kepala dan tidsk dewasa. Mungkin juga belum sepatutnya menikah. Mengingat beratnya tanggung jawab yang dipikul setelahnya.
Yaa Abaty...
Aku tak sepenuhnya takut dan berani seperti yang kau pikirkan. Pengalaman-pengalamanku menyaksikan rumah tangga orang lain yang hancur dan sempurna juga potret rumah tangga Rasulullah tidak akan pernah cukup membelajarkanku menjalani rumah tangga.
Apa aku akan makan tiga kali sehari? apa aku akan tinggal di tempat yang nyaman? dan apakah anak-anakku akan disekolahkan di tempat-tempat terbaik?. Aku tidak bisa menjamin aku mampu. Dan siapapun tidak bisa. Karena Allah maha membolak-balikkan hidup manusia. Orang bisa hidup enak sekarang, esok belum tentu. Begitupun sebaliknya.
Yaa Abaty...
Mimpiku cuma satu: Menikah dengan seseorang yang taat terhadap Rabbnya bahkan dalam keadaan sempit sekalipun. Karena aku khawatir jika hidupku menjadi kufur karena harta.
Siapa yang tak ingin hidup mewah?
Aku pikir tak ada. Kecuali Rasul dan para sahabatnya yang menangis saat diamanahkan dengan harta. Karena mereka sadar harta lebih mudah mengantarkan manusia ke neraka.
Yaa Abaty...
Tantangan-tantangan hidup yang dihadapi umat ini jauh lebih dahsyat daripada sekedar memikirkan makan apa dan beli apa. Aku risau dengan hidupku yang begini-begini saja tanpa persembahan apapun yang diberikan untuk umat ini. Memikirkan soal kerja yang prestisius dimatamu dan soal-soal duniawi lainnya. Aku tak ubahnya orang yang pelan-pelan memenggal leher sendiri. Bukankah kau ingin aku dan kita menjadi ahli surga?, Maka ikhlaskan aku dengan orang yang memiliki misi dan tujuan itu. Bukan cuma orang yang memikirkan makan apa dan memberikan kebahagian ragawi.
Yaa Abaty...
Siapa sangka kau menangis gara-gara prinsipku ini.
Tapi ayah, aku hanya tak ingin menukarkan ideologiku dengan dunia. Bukankah kalau sesorang menilai manusia karena hartanya sama saja ia menjual imannya?
Allah maha kaya Abaty...
Modalnya cuma satu: TAKWA